Minggu, 05 Juni 2011

Puisi Cat Air untuk Rizki Karya: Sapardi Djoko Damono

Puisi Cat Air untuk Rizki
Karya: Sapardi Djoko Damono

Angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telepon itu,
“aku rindu, aku ingin mempermainkanmu!”
Kabel telepon memperingatkan angin yang sedang memungut daun itu
dengan jari-jarinya gemas,
“jangan berisik, mengganggu. Hujan!”
Hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam, hardiknya,
“lepaskan daun itu!”

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

• Biografi Penulis
Andre Hardjana dalam majalah Basis menyatakan bahwa Sapardi Djoko Damono adalah penyair terpenting kedua tahun 1950-an sesudah Rendra. Sapardi adalah penyair yang produktif dan setia akan kepenyairannya. Jika tokoh-tokoh lain hanya berpuisi selama satu decade, Sapardi berpuisi selama lebih dari tiga decade, sejak tahun 1950-an hingga tahun 80-an masih aktif berpuisi. Sapardi juga merupakan salah satu contoh sastrawan yang sekaligus ahli sastra dan juga penelaah sastra, di samping beberapa gelintir tokoh yang lain.
Sapardi Djoko Damono lahir di Surakarta pada tanggal 20 Maret 1940. Setelah menyelesaikan pendidikannya pada Jurusan Sastra Barat Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM, ia pernah mendapat beasiswa studi di Universitas Hawaii (Honolulu, 1970-1971), dan sejak 1975 menjadi dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia hingga saat ini.
Pernah menjadi redaktur majalah “Basis” (1969-1975), sejak tahun 1973 menjadi redaktur majalah “Horison” merangkap sebagai direktur pelaksana Yayasan Indonesia. Tahun 1976 ia mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam Nederland. Tahun 1978 ia mengikuti Festival Seni di Adelaide, Australia.
• Analisis Puisi Cat Air Untuk Rizki
Dalam Puisi Cat Air Untuk Rizki karya Sapardi Djoko Damono ini semua hampir berisi majas personifikasi, “angin berbisik pada daun”, “angin yang sedang memungut daun itu dengan jari-jarinya gemas”, “hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam”. Seluruh isi puisi ini digambarkan adanya majas personifikasi, di mana yang sebenarnya tidak hidup dihidupkan seolah-olah layaknya manusia. Ketika pertama kali membacanya, kita tidak langsung memahami apa isi puisi tersebut. Karena hamper seluruhnya berisikan majas personifikasi. Daya imajinya penulis sangat tinggi, ia mampu melukiskan puisi seolah-olah bagaikan makhluk hidup (dapat ‘berbisik’, ‘mengatakan rindu’, ‘memungut’, dan ‘meludah’).
“Aku rindu, aku ingin mempermainkanmu” kata ‘Aku’ terulang kembali setelah tanda koma (,) diikuti dengan kata abstrak (rindu, dan ingin). Puisi ini memiliki kekuatan emosi yang kuat “hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam”. Ketika membaca kalimat ini jelas pembaca dapat merasakan bagaimana ketika itu hujan marah pada angin. Sapardi menampilkan kekhasannya, karena puisi-puisinya tidak dengan mudah begitu saja langsung dipahami dan dimengerti. Sapardi dikenal sebagai tokoh imajis dengan puisi-puisi naratifnya yang pendek-pendek. Bagi kaum imajis kata-kata dan kalimat yang diungkapkan harus mampu menciptakan imaji visual dan auditif bagi pembacanya. Kata-katanya yang sangat ekonomis, tidak berlebihan. Bahasanya pun bahasa sehari-hari namun dengan ritme yang baru.
Puisi ini terasa lebih konkret jika kita menghayati melalui penglihatan dan pendengaran serta cita rasa. Kata-kata yang diungkapkan dalam tiap barisnya mengandung unsur-unsur imajis, di mana kita sebagai pembaca dapat merasakan secara perlahan-lahan. Pada baris pertama “Angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telepon itu, “aku rindu, aku ingin mempermainkanmu!”, jika kita menghayati seolah-olah mendengarkan sesuatu (imaji pendengaran/auditif). “Aku rindu, aku ingin mempermainkanmu” (imaji auditif). “Angin yang sedang memungut daun itu dengan jari-jarinya gemas” (imaji visual). “jangan berisik, mengganggu” (imaji auditif). “hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam” (imaji visual).
Keseluruhan isi puisi ini menggugah pembacanya timbulkan imaji dalam dirinya, sehingga secara tidak langsung pembaca menggunakan mata hati untuk melihat benda-benda, dengan telinga hati mendengar bunyi atau suara-suara, dan dengan perasaan hati kita menyentuh bendanya. Dalam puisi ini juga penulis menggunakan bahasa figuratif, di mana secara tidak langsung mengungkapkan makna. Contoh penggunaan makna lambang (angin, daun, kabel telepon, dan hujan. Ini merupakan lambang benda. Bahasa figuratif ini digunakan agar menghasilkan kesenangan imajinatif. Pembaca bebas berimajinasi tentang makna apa dalam penulis ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar