Minggu, 05 Juni 2011

Esai Bunga Roos dari Cikembang Karya: Kwee Tek Hoay

Esai
Bunga Roos dari Cikembang
Karya: Kwee Tek Hoay

Pengarang-pengarang masa lalu, sebagai contoh ialah Nio Joe Lan, Njoo Cheong Seng, dan Kho Ping Ho. Kwee Tek Hoay adalah yang paling banyak karyanya, terutama dalam bentuk novel, roman, dan drama. Dan selain itu dia juga menulis masalah-masalah filsafat, agama, dan pendidikan. Dalam novel maupun drama yang ditulisnya selalu pula dilandasi unsur-unsur spiritual, perjuangan, moral dan kemanusiaan.

Salah satu karyanya yang berjudul Bunga Roos dari Cikembang sangat menarik untuk dibaca, sebuah karya berisikan kisah cinta yang terselip kisah-kisah tragis tentang juragan keturunan asli etnis Tionghoa dengan perempuan asli pribumi. Seorang tokoh Tionghoa Ay Tjeng sangat menyayangi dan mencintai nyai-nya. Tapi sayangnya ia dipaksa keluarga untuk berumah-tangga dengan gadis sebangsanya. Dari perkawinan ini dia memperoleh seorang puteri, Lili namanya. Seorang gadis yang rupawan dan pintar. Sayang, ketika Lili akan dinikahkan dengan seorang pemuda, Bian Kun, gadis itu jatuh sakit hingga akhirnya meninggal dunia. Tentu saja Bian Kun menjadi teramat sedih. Suatu hari ketika dia berziarah di makam isterinya, dia terperanjat karena bertemu dengan seorang gadis yang sangat mirip dengan Lili. Bian Kun menduga Lili hidup kembali, Padahal bukan, gadis itu bernama Rosmina, puterinya nyai Ay Tjeng yang ketika berpisah telah mengandung. Cerita memang ditutup dengan happy ending, Bian Kun nikah dengan Rosmina.

Dalam cerita Bunga Roos dari Cikembang ini terdapat hubungan antara Cina, Belanda, dan Nusantara pada masa itu. Cina dengan Belanda ketika itu statusnya setara, sedang pribumi tidak setara/tidak sederajat dengan bangsa Cina maupun Belanda. Orang-orang pribumi hanya menjadi bawahan yang tidak berharga. Dalam novel ini jejak Tionghoa dalam dunia perdagangan pun dapat digambarkan bahwa di sini Tionghoa adalah sebagai penguasa utama perdagangan/perkebunan (Liok Keng Djim), selain Belanda.

Jejak kebangsaan Tiongkok dalam pemikiran Ay Tjeng, bahwa Tionghoa Indonesia memiliki kemahsyuran, kekayaan, serta peningkatan derajat. Sedangkan jejak kebangsaan dalam pemikiran Bian Koen, ia ingin membela tanah air (Tiongkok) dalam perang saudara yang tengah berlangsung ketika itu. Bian Koen berpikir seperti itu karena ia merasa hidupnya tidak berguna lagi sepeninggal Lily, calon tunangannya.

Dalam novel ini, dominasi aliran romantik dan penggunaan bahasa Melayu dalam sastra Melayu rendah ialah cerita yang berfokus pada percintaan berlatar tradisi Tionghoa dan penggambaran keindahan alam Priangan. Peristiwa-peristiwa yang menonjol dalam cerita ini yaitu percintaan, perpisahan yang tragis, serta keindahan alamnya. Unsur nostalgia dan melankoli sangat kuat (Ay Tjeng, Marsiti, Lily, Bian Koen, Oh Pin Lo). Ketidakberdayaan manusia melawan nasib (Minah, Marsiti, Gwat Nio). Penggunaan bahasa Melayu bercampur dengan dialek, kosakata nonMelayu (sunda, betawi, dan Cina).

Seorang nyai pada saat itu seperti budak, ia harus melayani semua keinginan dan hasrat juragannya. Mungkin sudah menjadi tradisi bahwa orang-orang Tionghoa memang mempunyai nyai untuk dirinya sendiri sebelum ia menikah dengan pasangannya yang satu keturunan dan satu kebangsaan. Ay Tjeng yang memang dipaksa oleh ayahnya, Oh Pin Lo untuk menikahi Gwat Nio, gadis asli keturunan Tionghoa yang mempunyai warisan besar, dan juga salah satu gadis cantik, terpelajar, baik tingkah lakunya serta dambaan semua laki-laki merupakan peruntungan jika menikahinya. Bangsa Tionghoa mungkin masih sangat percaya tentang keberuntungan seseorang jika menikah dengan bangsanya sendiri.

Awalnya pernikahan Ay Tjeng dengan Gwat Nio sangat membuat persaan Ay Tjeng sakit, karena dalam pikiran Ay Tjeng masih ada Marsiti, nyai-nya yang sangat ia cintai. Namun lama kelamaan akhirnya Ay Tjeng dapat benar-benar mencintai isterinya. Gwat Nio mempunyai sikap dan sifat yang sama dengan Marsiti, ia perempuan yang kelakuannya baik. Dan ternyata ayah Gwat Nio dulu mempunyai nyai bernama Minah dan melahirkan seorang anak, Marsiti. Gwat Nio dan Marsiti masih saudara satu ayah.

Dari pernikahan Ay Tjeng dengan Gwat Nio lahirlah Lily. Namun usianya yang tidak lama, akhirnya Lily meninggal ketika akan ditunangkan dengan Bian Koen. Ini membuat Bian Koen sangat sedih, suatu ketika ia bertemu dengan seorang gadis yang rupanya mirip Lily, ia adalah anak Marsiti, Rosminah. Ternyata keberuntungan itu benar adanya, Lily meninggal namun ada penggantinya yaitu Rosminah. Karena Rosminah adalah anak kandung Ay Tjeng dengan nyai-nya yang pergi dulu.
Kehidupan itu memang tidak bisa ditebak,semua akan terjadi tanpa sepengetahuan kita. Hingga akhirnya Bian Koen dan Rosminah menikah dan mereka semua hidup bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar